Budaya Antre yang Semrawut
“Budayakan Antre”, dua kata yang yang tak asing lagi
di telinga kita. Namun sangat disayangkan slogan tersebut hanyalah sekedar ‘pemanis’
dalam salah satu kebudayaan bangsa Indonesia ini. Implementasi antre itu
sendiri jarang dilakukan. Semakin berubahnya zaman, semakin memudar pula budaya
antre.
Rakyat Indonesia sebenarnya mengerti apa itu antre,
bagaimana cara mengantre, dan apa tujuan mengantre, tetapi mereka tidak
menerapkannya dengan baik dalam kehidupan sehari-hari tanpa adanya pengawasan
atau denda. Seakan-akan antre adalah perbuatan yang sangat sulit untuk
dilakukan. Jika hal ini terus terjadi, budaya antre akan punah total.
Pada hakikatnya mengantre merupakan perbuatan yang
sederhana, mudah, dan bermanfaat. Satu perbuatan mengandung berbagai manfaat
yang luar biasa, yaitu hanya dengan mengantre akan melatih sikap dan sifat
sabar, melatih diri untuk tidak egois, belajar tertib, belajar menghargai orang
lain, berlaku sopan, menanamkan rasa malu untuk mengambil hak orang lain,
menanamkan sikap tepat waktu, menampakkan budaya rapi, dan lain sebagainya.
Di negara luar, budaya antre diterapkan dengan
sangat baik. Salah satunya saja seperti di Taiwan. Tidak hanya dikenal sebagai
negara yang memiliki keunggulan dalam riset dan inovasi produk, tetapi negara
ini juga dikenal sebagai Queueing Master
(Master Antri). Masyarakat Taiwan membudidayakan antre dengan sangat baik.
Mereka bahkan mengantre secara otomatis tanpa harus ada yang mengarahkan atau
mengatur barisan antrean. Dimana pun, kapanpun, dan apapun mereka secara
otomatis membentuk barisan antrean secara disiplin.
Orang Indonesia yang datang langsung ke sana akan
takjub melihat kedisiplinan mereka dalam hal mengantre. Hebatnya lagi,
orang-orang Indonesia yang sering menyerobot barisan ketika mengantre, akan
berubah menjadi disiplin ketika mengantre di Taiwan, karena akan merasa malu
jika menerapkan kebiasaan buruk mengantre di negara Queueing Master tersebut. Ini bukanlah hal-hal fiktif, tetapi fakta
dan masih terjadi hingga sekarang.
Dalam hal mengantre kita juga bisa meniru
segerombolan semut. Hewan kecil ini sangat piawai dalam mengatur barisannya.
Tampak rapi dan teratur ketika para serangga kecil ini merayap. Semestinya kita
malu dengan semut. Hewan yang tiada pikiran saja mampu bersikap teratur, malah
sebaliknya kita yang berakal tidak mempunyai kesadaran tinggi untuk hidup
teratur.
Sangat Indah terlihat jika di negara kita juga menerapkan
kedisiplinan yang tinggi. Tidak adanya kerapian tanpa adanya budaya antre. Kenyataannya
negara kita sangat jauh tertinggal dalam hal ketaatan pada peraturan terutama
dalam kedisiplinan mengantre. Masih banyak rakyat Indonesia yang mendominasi
kepentingan individu. Hal tersebut terlihat ketika mengantre di jalan raya.
Contohnya saja di Banda Aceh yang tidak jarang mengalami kemacetan lalu lintas
terlebih ketika pagi dan sore hari. Semua orang terlihat terbaru-buru seakan
dikejar waktu, bahkan saat lampu merah pengemudi berhenti melewati batas garis
pemberhentian. Jika ada yang tidak melewati batas garis pemberhentian, para
pengemudi yang berada di belakang akan berklekson ria menyuruh untuk maju atau
ada yang langsung menyelip ke depan. Terlebih ketika lampu hijau menyala,
suara-suara klekson kendaraan akan bersahut-sahutan dan tak sedikit pula yang
menerobos jalan. Hal-hal tersebut sangat membahayakan baik si pengendara maupun
semua pengguna jalan. Itu hanyalah sepenggal fakta yang terjadi di sekitar
kita, belum lagi yang terjadi ketika mengantre pembayaran rekening listrik, mengantre
di loket rumah sakit, loket kereta api, dan lain sebagainya.
Memudarnya budaya antre ini tidak lain juga
disebabkan oleh membudayanya ‘jam karet’ di Indonesia. Orang Indonesia sebagian
besar menyepelekan waktu sehingga tidak memperhitungkan waktu untuk mengantre. Karena
merasa terbaru-buru dan dikejar waktu akibat membiasakan jam karet,
kedisiplianan dalam mengatre pun tidak lagi dihiraukan.
Hal yang perlu dilakukan dalam membudi daya antre
adalah dengan membiasakan diri untuk sabar dan tidak egois. Tanpa disadari,
hal-hal kecil positif yang kita biasakan, akan banyak bermanfaat dalam berbagai
situasi, terutama dalam mengantre. Selain itu pula kebiasaan dan kesadaran
tersebut harus ditamankan dalam diri, sebab pada hakikatnya kebiasaan merupakan
pengulangan yang berpola. Buang mengulang yang negatif yang pasti merugikan,
ulangi pola yang positif, maka kebiasaan akan menjadi kekuatan yang membangun.
0 komentar:
Posting Komentar