Rabu, 05 Juni 2013

Budaya Antre



Budaya Antre yang Semrawut

“Budayakan Antre”, dua kata yang yang tak asing lagi di telinga kita. Namun sangat disayangkan slogan tersebut hanyalah sekedar ‘pemanis’ dalam salah satu kebudayaan bangsa Indonesia ini. Implementasi antre itu sendiri jarang dilakukan. Semakin berubahnya zaman, semakin memudar pula budaya antre.
Rakyat Indonesia sebenarnya mengerti apa itu antre, bagaimana cara mengantre, dan apa tujuan mengantre, tetapi mereka tidak menerapkannya dengan baik dalam kehidupan sehari-hari tanpa adanya pengawasan atau denda. Seakan-akan antre adalah perbuatan yang sangat sulit untuk dilakukan. Jika hal ini terus terjadi, budaya antre akan punah total.
Pada hakikatnya mengantre merupakan perbuatan yang sederhana, mudah, dan bermanfaat. Satu perbuatan mengandung berbagai manfaat yang luar biasa, yaitu hanya dengan mengantre akan melatih sikap dan sifat sabar, melatih diri untuk tidak egois, belajar tertib, belajar menghargai orang lain, berlaku sopan, menanamkan rasa malu untuk mengambil hak orang lain, menanamkan sikap tepat waktu, menampakkan budaya rapi, dan lain sebagainya.
Di negara luar, budaya antre diterapkan dengan sangat baik. Salah satunya saja seperti di Taiwan. Tidak hanya dikenal sebagai negara yang memiliki keunggulan dalam riset dan inovasi produk, tetapi negara ini juga dikenal sebagai Queueing Master (Master Antri). Masyarakat Taiwan membudidayakan antre dengan sangat baik. Mereka bahkan mengantre secara otomatis tanpa harus ada yang mengarahkan atau mengatur barisan antrean. Dimana pun, kapanpun, dan apapun mereka secara otomatis membentuk barisan antrean secara disiplin.
Orang Indonesia yang datang langsung ke sana akan takjub melihat kedisiplinan mereka dalam hal mengantre. Hebatnya lagi, orang-orang Indonesia yang sering menyerobot barisan ketika mengantre, akan berubah menjadi disiplin ketika mengantre di Taiwan, karena akan merasa malu jika menerapkan kebiasaan buruk mengantre di negara Queueing Master tersebut. Ini bukanlah hal-hal fiktif, tetapi fakta dan masih terjadi hingga sekarang.
Dalam hal mengantre kita juga bisa meniru segerombolan semut. Hewan kecil ini sangat piawai dalam mengatur barisannya. Tampak rapi dan teratur ketika para serangga kecil ini merayap. Semestinya kita malu dengan semut. Hewan yang tiada pikiran saja mampu bersikap teratur, malah sebaliknya kita yang berakal tidak mempunyai kesadaran tinggi untuk hidup teratur.
Sangat Indah terlihat jika di negara kita juga menerapkan kedisiplinan yang tinggi. Tidak adanya kerapian tanpa adanya budaya antre. Kenyataannya negara kita sangat jauh tertinggal dalam hal ketaatan pada peraturan terutama dalam kedisiplinan mengantre. Masih banyak rakyat Indonesia yang mendominasi kepentingan individu. Hal tersebut terlihat ketika mengantre di jalan raya. Contohnya saja di Banda Aceh yang tidak jarang mengalami kemacetan lalu lintas terlebih ketika pagi dan sore hari. Semua orang terlihat terbaru-buru seakan dikejar waktu, bahkan saat lampu merah pengemudi berhenti melewati batas garis pemberhentian. Jika ada yang tidak melewati batas garis pemberhentian, para pengemudi yang berada di belakang akan berklekson ria menyuruh untuk maju atau ada yang langsung menyelip ke depan. Terlebih ketika lampu hijau menyala, suara-suara klekson kendaraan akan bersahut-sahutan dan tak sedikit pula yang menerobos jalan. Hal-hal tersebut sangat membahayakan baik si pengendara maupun semua pengguna jalan. Itu hanyalah sepenggal fakta yang terjadi di sekitar kita, belum lagi yang terjadi ketika mengantre pembayaran rekening listrik, mengantre di loket rumah sakit, loket kereta api, dan lain sebagainya.
Memudarnya budaya antre ini tidak lain juga disebabkan oleh membudayanya ‘jam karet’ di Indonesia. Orang Indonesia sebagian besar menyepelekan waktu sehingga tidak memperhitungkan waktu untuk mengantre. Karena merasa terbaru-buru dan dikejar waktu akibat membiasakan jam karet, kedisiplianan dalam mengatre pun tidak lagi dihiraukan. 
Hal yang perlu dilakukan dalam membudi daya antre adalah dengan membiasakan diri untuk sabar dan tidak egois. Tanpa disadari, hal-hal kecil positif yang kita biasakan, akan banyak bermanfaat dalam berbagai situasi, terutama dalam mengantre. Selain itu pula kebiasaan dan kesadaran tersebut harus ditamankan dalam diri, sebab pada hakikatnya kebiasaan merupakan pengulangan yang berpola. Buang mengulang yang negatif yang pasti merugikan, ulangi pola yang positif, maka kebiasaan akan menjadi kekuatan yang membangun.  

0 komentar: