Kebimbangan
Menerpa Pengetahuan
Kini
masa PPL telah berjalan empat bulan. Hari-hari saya selama melaksanakan program
praktik ini dipenuhi dengan segala pengetahuan baru. Sebagian pengetahuan itu
saya dapatkan melalui kesalahan-kesalahan yang tanpa sadar saya lakukan baik
dalam kegiatan teaching maupun non-teaching. Di bulan ke-4 PPL ini tepatnya
pada bulan Mei, saya kembali melakukan kesalahan. Namun, kali ini bukan dalam
mengajar, tetapi dalam kegiatan tidak mengajar, yaitu di saat saya menyiapkan
bahan untuk evaluasi hasil di semester genap ini. Dari kesalahan yang saya
perbuat terkadang saya merasa bingung dan ragu apakah yang saya lakukan itu
suatu kesalahan atau bukan, karena fenomena yang saya jumpai selama PPL tidak
jarang berbeda dengan teori-teori yang saya pelajari di kuliah. Istilah lainnya
implementasi di lapangan tidak selalu sesuai dengan teori yang ada dan
terkadang pengetahuan yang saya dapatkan dari dosen, berbeda dengan apa yang
diajarkan oleh pamong saya. Contohnya saja pada kesalahan yang saya lakukan
ketika membuat soal ujian semester ini. Ada kesalahan yang memang saya paham
dan yakin bahwa ini adalah murni kesalahan saya, tetapi di lain sisi juga ada
sebuah kesalahan yang memang divonis langsung oleh pamong pada saya, tetapi
saya tidak yakin apakah hal tersebut memang salah. Berikut ini ilustrasinya.
Tepatnya
tanggal 22 Mei 2014 mendatang, para siswa kelas VII dan VIII akan mengikuti
ujian akhir atau ujian kenaikan kelas. Di saat ini pula saya mulai sibuk
menyiapkan bahan untuk dites pada para siswa guna mengukur tingkat pemahaman
mereka terhadap meteri yang selama ini saya ajarkan, sekaligus sebagai syarat
untuk kenaikan kelas. Soal sudah saya siapkan tiga minggu sebelum diadakannya
ujian tersebut. Soal-soal itu saya buat dengan berbekal pengetahuan yang saya
dapatkan dari bangku kuliah. Tidak hanya dari segi materi, tetapi dari mulai
menyusun soal hingga menentukan alternatif jawaban disertai dengan jawaban
pengecoh (karena soal berupa pilihan ganda) saya buat berdasarkan pemahaman dan
pengetahuan saya. Perkiraan saya terhadap soal yang saya buat itu sudah benar
dan sesuai karena saat soal-soal itu saya serahkan pada pamong, beliau tidak
berkomentar setelah melihat soal yang saya buat. Namun, ternyata praduga saya
salah. Saat beberapa dari soal-soal tersebut dites pada siswa sebagai ulangan
harian, pamong saya berkata bahwa
terdapat beberapa soal yang tidak semestinya diajukan untuk anak sekolah, yaitu
soal-soal yang terdapat kata “yang bukan”. Misalnya, “berikut ini yang bukan
ciri-ciri cerpen adalah”, beliau berkata seharusnya ketika membuat soal untuk
diuji pada anak-anak gunakan pertanyaan yang ‘sebenarnya’. Ada sekitar enam
dari lima puluh soal yang menggunakan kata “yang bukan” dan “kecuali”. Saya
menyadari mungkin memang terlalu banyak pertanyaan yang menjebak dari soal yang
saya buat dan itu merupakan suatu kesalahan. Namun, saya masih ragu dengan apa yang
dikatakan pamong saya bahwa soal-soal yang terdapat kata “yang bukan” dan
“kecuali” itu tidak boleh diberikan pada siswa. Pada kenyataannya sering saya
jumpai pertanyaan-pertanyaan yang menggunakan kata-kata tersebut di buku-buku
bahan ajar, tetapi sebaliknya pamong saya langsung mengatakan “tidak boleh
diberikan untuk anak sekolah”. Mungkin untuk yang satu ini perlu saya cari tahu
kembali dengan bertanya ke sumber lain atau memperbanyak membaca buku-buku yang
berkaitan dengan penyusunan soal atau mengenai evaluasi dalam pembelajaran.
Namun meskipun demikian, saya tetap bersyukur karena dengan adanya kebingungan
ini saya dapat lebih termotivasi dalam mencari tahu segala hal yang membuat
saya bimbang dan dengan diberikan tugas oleh pamong untuk membuat soal sebanyak
lima puluh soal, pengetahuan dan keterampilan menulis saya semakin terasah. Selain
itu juga terbesit rasa senang di hati karena dengan dilimpahkannya tugas
menyusun soal berarti pamong saya telah menyerahkan kepercayaannya pada saya
sebagai calon guru.