A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan
adalah upacara
pengikatan janji nikah yang dirayakan
atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan
secara norma
agama, norma hukum, dan norma
sosial. Upacara perkawinan memiliki banyak ragam dan
variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas
sosial. Penggunaan adat
atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula.
Pengesahan secara hukum suatu perkawinan
biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan
ditandatangani. Upacara perkawinan sendiri biasanya merupakan acara yang
dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat-istiadat yang berlaku,
dan kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga. Wanita dan pria yang sedang
melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah upacaranya selesai
kemudian mereka dinamakan suami dan istri dalam ikatan perkawinan.
Pernikahan
ada 2 macam :
1.
Nikah
gantung, yaitu pernikahan gadis yang masih kecil belum cukup
umur atau masih dalam pendidikan, mereka dinikahkan terlebih dahulu dan akan
diresmikan beberapa tahun kemudian. Biasanya hal ini terjadi pada gadis yang
dijodohkan, sebab pada zaman dahulu, agam ngon dara (bujang dan gadis) tabu
mencari jodoh sendiri. Penentuan teman hidup menjadi wewenang ortu, terutama
bagi anak gadis.
2.
Nikah
langsung, yaitu pernikahan dilakukan seperti biasa, langsung
diresmikan (wo linto). Pada
gadis dewasa yang tidak ada halangan,nikah langsung dilaksanakan dikantor KUA
atau dirumah mempelai wanita.
Pada masa lampau kaum
bangsawan selalu membuat upacara pernikahan di rumah calon mempelai wanita (dara baro). Pernikahan (peugatip)
dilakukan beberapa hari sebelum upacara wo
linto/meukeurija (pesta). Sebelum eukeurija
diadakan meudeuk pakat
(bermufakat) dengan orang tua adat, dan anggota keluarga serta pemuka
masyarakat yang terdiri dari tuha peet
(penasehat), kechik gampong (kepala desa), Imum meunasah (imam langgar).
Biasanya musyawarah dipimpin oleh orang tua calon mempelai wanita (daro baro,
atau yang mewakilinya untuk membicarakan pesta yang akan diselenggarakan).
Jadi dapat dikatakan bahwa perkawinan/pernikahan menyangkut dua hal yaitu norma adat dan
agama yang melarang pergaulan bebas antara laki-laki dan
perempuan dan norma adat Aceh yang memberikan
tekanan kepada orang tua untuk mengawinkan anaknya, bila
anaknya sudah sampai waktunya (kematangan seksual) yang dalam bahasa Aceh
disebut tro’ umu.
Selain kebutuhan biologis perkawinan
juga berfungsi secara sosial. Pasangan yang baru saja menikah akan hidup
bersama dalam satu ikatan, dan ikatan tersebut diakui dan sepakati oleh
anggota-anggota masyarakat. Keluarga baru tersebut dituntut untuk bekerja sama
dengan keluarga saudara mereka, kadang juga keluarga sanak kerabat mereka dalam
mengasuh rumah tangga. Prinsip-prinsip tersebut berlaku di semua kelompok adat
di Aceh.
B.
Peralatan dan Bahan-Bahan Upacara
Ada beberapa
peralatan yang harus disediakan dalam upacara perkawinan adat Aceh yang
digunakan pada waktu melamar, upacara menjelang peresmian perkawinan, dan
upacara peresmian perkawinan. Peralatan ini disediakan oleh kedua belah pihak,
yaitu pengantin laki-laki dan perempuan. Bahan dan peralatan yang dibutuhkan,
yaitu:
1. Mas Kawin
Mas kawin (jenamee)
merupakan sejumlah uang yang harus diserahkan pihak pengantin laki-laki (linto
baro) kepada pihak pengantin perempuan (dara baro) sesuai
ketentuan agama dan adat-istiadat.
2. Uang Hangus
Uang hangus
yaitu uang tanda ikat diserahkan oleh pihak laki-laki bersamaan dengan
penyerahan mas kawin. Jumlah uang ditetapkan secara musyawarah pada saat linto
baro melamar.
3. Makanan,
Pakaian, dan Perhiasan
Ada beberapa
jenis makanan yang diperlukan pada waktu pelaksanaan upacara mengantar tanda.
Beberapa jenis makanan yang diperlukan dalam upacara, misalnya ketan kuning,
bolu, dodol, dan makanan untuk jamuan pesta. Selain itu, peralatan yang harus
dibutuhkan seperangkat pakaian lengkap ditambah peralatan mandi, dan berbagai
perhiasan.
C.
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penentuan
waktu upacara peresmian perkawinan (resepsi) dilakukan oleh linto baro dan dara baro melalui
perantara. Penentuan waktu berdasarkan pada hari dan bulan yang dianggap baik
oleh masyarakat Aceh dan kemampuan ekonomi kedua pihak. Biasanya upacara
peresmian perkawinan dilaksanakan setelah masa panen agar tidak membebani
pihak-pihak yang bersangkutan. Pesta perkawinan dilaksanakan di dua tempat,
yaitu di rumah orang tua linto baro dan orang tua dara
baro. Namun, upacara “bersanding dua” dilaksanakan di rumah mempelai
perempuan.
D. Tahapan dan
Proses Upacara
Ada beberapa
tahapan dalam upacara perkawinan Aceh sejak persiapan hingga setelah
perkawinan. Tahapan-tahapan tersebut mempunyai tata cara masing-masing. Menurut
Cut Intan Elly Arby (1989: 5-6), beberapa tahap perkawinan adat Aceh adalah:
1. Persiapan
Menuju Perkawinan
·
Jak Keumalen
Jak Keumalen artinya
mencari calon istri/suami. Jak Keumalen dilakukan melalui dua cara.
Pertama, dilakukan langsung oleh orangtua laki-laki; atau, kedua, dilakukan
oleh utusan khusus. Maksud Jak Keumalen ialah menjajaki kehidupan
keluarga calon pengantin. Biasanya beberapa orang dari pihak mempelai pria
datang bersilaturahmi sambil memperhatikan calon mempelai perempuan, suasana
rumah, dan perilaku keluarga tersebut.
Setelah
kunjungan, keluarga calon mempelai pria bertanya kepada pihak orangtua
perempuan, apakah putrinya sudah mempunyai calon suami. Bila sambutannya baik
dan jawaban “ya”, tahapan selanjutnya adalah Jak Ba Ranub. Jak
Keumalen dilakukan karena pada silam hubungan laki-laki dan perempuan
adalah tabu. Selain peran orang tua yang begitu dominan terhadap anak, termasuk
urusan jodoh.
·
Jak Ba Ranub (Tahapan Melamar)
Setelah
melewati tahap Jak Keumalen, berikutnya adalah upacara Jak Ba Ranub
atau upacara meminang calon pasangan. Dalam acara ini, orangtua linto baro
mengirim utusan untuk membawa sirih, kue, dan lain-lain ke keluarga dara
baro. Melalui utusan tersebut, keluarga linto baro mengungkapkan
maksud mereka pada dara baro. Bila ia menerima, keluarga dara baro
kemudian melakukan musyawarah. Bila seluruh keluarga menyetujui, proses
selanjutnya adalah Jak Ba Tanda. Tapi, kalau ternyata keluarga dara
baro tidak setuju, keluarga dara baro akan menjawab dengan alasan
dan cara yang baik.
·
Jak Ba Tanda (Tahapan Pertunangan)
Jak Ba Tanda adalah
upacara memperkuat tanda jadi. Pihak calon pengantin laki-laki akan membawa
sirih lengkap dengan makanan kaleng, seperangkat pakaian yang disebut lapek
tanda, dan perhiasan emas. Barang-barang tersebut ditaruh dalam “talam”
atau “dalong” yang dihias sedemikian rupa. Di rumah dara baro,
talam tersebut dikosongkan kemudian diisi kue-kue sebagai balasan dari keluarga
dara baro. Pembahasan mas kawin (jeulamei), uang hangus (peng
angoh), rencana hari dan tanggal pernikahan, serta jumlah undangan dan
jumlah rombongan pihak pengantin laki-laki dilakukan pada upacara ini.
2. Upacara
Menjelang Perkawinan
Sebelum
pesta perkawinan dilangsungkan, ada beberapa upacara yang mendahuluinya, di
antaranya:
·
Malam Peugaca
Malam peugaca
adalah malam menjelang upacara pesta pernikahan (meukerejia). Pada malam
peugaca inilah biasanya upacara keselamatan (peusijuk) untuk
kedua mempelai. Upacara ini biasanya dilakukan di malam hari selama 3 hingga 7
hari. Busana yang dikenakan calon pengantin perempuan tidak ditentukan.
Upacara
keselamatan pada malam peugaca disebut peusijuk gaca. Upacara ini
dipimpin oleh sesepuh adat (nek maja), dan dimulai oleh ibu calon
pengantin perempuan, kemudian dilanjutkan keluarga terdekat. Upacara ini
dilaksanakan pagi hari, dengan harapan agar kehidupan kedua mempelai kelak
terus meningkat dan mudah mendapatkan rezeki. Selain itu, makna dari upacara peusijuk
adalah bentuk permohonan kepada Allah agar kedua mempelai hidup bahagia di
dunia dan akhirat.
·
Memotong atau Meratakan Gigi (Koh
Gilo)
Saat ini
upacara Koh Gilo sudah jarang dilakukan sebab kesadaran masyarakat akan
bahaya pengikiran gigi semakin meningkat. Pada zaman dahulu, menjelang
pernikahan gigi calon pengantin wanita harus diratakan dengan alat pengikir
gigi. Upacara ini dilaksanakan setidaknya 7 hari sebelum upacara pesta
perkawinan dilaksanakan. Menurut penilaian orang zaman dulu, pemotongan gigi
ini akan membuat kesan lebih cantik pada calon pengantin perempuan. Selain itu,
sebagai tanda bahwa perempuan itu sudah bersuami.
·
Memotong Rambut Halus Bagian Dahi (Koh
Andam)
Koh Andam adalah
upacara memotong bulu-bulu halus di bagian wajah dan kuduk dara baro
agar kelihatan lebih bersih. Upacara ini mengandung makna menghilangkan hal-hal
yang kurang baik pada masa lalu dan menggantikannya dengan hal-hal yang baik
pada masa yang akan datang.
Upacara Koh
Andam dilakukan ketika perempuan dara baro dalam keadaan suci
(sedang tidak haid). Bulu dan rambut yang telah dicukur tadi dimasukkan ke
dalam kelapa gading atau kelapa hijau yang diukir dan masih ada airnya. Kelapa
ukiran yang berisi rambut tadi ditanam di bawah pohon rindang. Ini mengandung
harapan agar mempelai perempuan selalu tegar dan berpikiran tenang ketika
menghadapi masalah.
·
Upacara Peumano
Peumano Dara
Baro artinya memandikan calon mempelai perempuan. Sebelum
masuk pada Upacara peumano, biasanya juga dilakukan peusijuk.
Upacara peumano mengandung makna bahwa calon dara baro sudah
dirawat agar badannya bersih dan kulitnya halus. Namun, upacara ini bukan hanya
untuk mempelai perempuan saja. Calon pengantin laki-laki juga menjalani Upacara
peumano.
Calon
mempelai, baik perempuan maupun laki-laki, dimandikan oleh orangtua mereka,
tetua adat yang taat, dan beberapa keluarga terdekat. Jumlah mereka harus
ganjil. Selama upacara, calon pengantin dibacakan doa-doa agar menjelang
perkawinan mereka dalam keadaan suci lahir dan batin. Dalam upacara itu,
mempelai dipayungi dan diarak menuju pemandian. Para pengiring membaca shalawat
dan kadang-kadang diselingi lantunan syair. Syair tersebut merupakan sanjungan
kepada keluarga atau nasihat bagi mempelai.
Pada zaman
dulu, Upacara Peumano mempunyai makna yang sakral, sehingga upacara itu
dilaksanakan dengan khidmat. Pada saat itu, upacara ini hanya dilakukan oleh
kaum bangsawan, dan hanya diikuti oleh keluarga terdekat. Tata cara pelaksanaan
upacara ini berbeda antara daerah satu dengan daerah yang lain. Perkembangan
tersebut terlihat misalnya pada penambahan tarian dari daerah Aceh Barat, yaitu
tarian Pho.
Di atas
telah disinggung mengenai syair yang dibawakan pada waktu Upacara Peumano.
Berikut adalah contoh syair yang dilantunkan pada waktu upacara itu:
Treun tajak
manoe
Dara Baro
treun
Oh lheuh
manoe
Lakee seu
naleu
Iya nyang la
en
Seunalen
manoe
Wahe putroe
aneuk metuah
Gata lon
seurah
Ta tinggai
po ma
Meunyo tajak
Bek tuwor
kamo
Trep-trep
beutawo
Tajingeuk po
ma
Artinya:
Turunlah
kita mandi
Mempelai
putri turunlah
Kita pergi
mandi
Sesudah
mandi
Minta
salinan
Kain yang
lain
Salinan
mandi
Wahai putri
Ananda yang beruntung
Dikau
kuserahkan
Meninggalkan
Bunda
Kalau pergi
Jangan
lupakan kami
Sekali-kali
pulanglah
Melihat
Bunda
·
Khatam Qur’an
Upacara ini
dilakukan untuk menunjukkan bahwa perempuan calon pengantin adalah orang yang
shalihah. Upacara Khatam Qu’an ini menjadi bukti betapa kuat agama Islam
mewarnai kebudayaan Aceh. Bagi masyarakat Aceh, agama merupakan faktor penting
dalam jodoh dan perkawinan.
Upacara ini
dipimpin oleh seorang guru ngaji setempat. Pelaksanaan upacara diawali dengan
pembacaan doa-doa keselamatan. Sebelum membaca ayat terakhir dalam Qur’an,
pengantin perempuan disuapi ketan dan tumpo yang telah tersedia. Setelah
upacara selesai, calon dara baro menyalami dan mengucapkan terima kasih
serta meminta maaf atas kesalahan yang ia lakukan. Pada kesempatan itu, ia juga
meminta restu kepada guru ngajinya.
Setelah
semua proses upacara dengan guru ngaji selesai, dilanjutkan Upacara Khatan
Qur’an di hadapan orangtua dan keluarga terdekat. Calon pengantin perempuan
didampingi sang guru ngaji. Setelah acara selesai, keluarga akan menyerahkan
telur, bereteh, beras, padi, dan uang sekadarnya kepada guru ngaji. Ini
merupakan wujud terima kasih dari calon mempelai atas ilmu yang telah diberikan
oleh guru ngaji.
3. Pelaksanaan
Perkawinan
Setelah berbagai upacara menjelang perkawinan selesai,
pasangan pengantin akan memasuki acara inti perkawinan yang disebut wo
linto. Inilah puncak acara yang dinanti-nantikan. Ini adalah upacara
mengantarkan linto baro ke rumah orang tua dara
baro. Pada saat pelaksanaan upacara ini, dara baro sudah siap dengan
pakaian pengantin.
Mempelai
perempuan dibimbing oleh dua pendamping di kanan dan kiri yang disebut peunganjo.
Ketiganya berjalan menghadap kedua orang tua untuk
sungkem (semah ureung chik), kemudian peunganjo membimbing dara baro
ke pelaminan untuk menunggu kedatangan linto baro dan rombongan.
Linto baro melakukan
hal yang sama dengan dara baro. Setelah memakai busana pengantin, ia
akan melakukan sungkem kepada kedua orang tuanya untuk
meminta doa restu. Setelah melakukan sungkem linto baro berangkat ke
rumah dara baro bersama rombongan pengantar mempelai pria (peutren
linto).
Selama
perjalanan menuju rumah dara baro, rombongan melantunkan shalawat. Pihak
keluarga dara baro akan menjemput iring-iringan pengantin pria kira-kira
500 meter dari rumah dara baro. Setelah kedua mempelai dan rombongannya
bertemu, pihak linto baro dan dara baro akan berbalas pantun (seumapa).
Jika pihak linto baro kalah dalam berbalas pantun tersebut, maka acara
tidak dapat dilanjutkan. Tapi, kalau pihak linto baro menang, maka
dilanjutkan dengan upacara tukar-menukar sirih oleh kedua orangtua dari pihak
pengantin laki-laki dan perempuan.
Setelah
memasuki pintu gerbang, linto baro diserahkan kepada orang tua adat dari
pihak dara baro. Mempelai laki-laki dipayungi oleh satu atau dua pemuda
dari pihak dara baro dan mereka akan beriringan menuju rumah dara
baro. Sebelum masuk rumah, linto baro dibimbing pendamping (peunganjo)
untuk membasuh kaki. Hal ini bermakna, untuk memasuki jenjang rumah tangga
harus suci lahir dan batin.
Sementara dara
baro sudah duduk menanti di pelaminan. Ia kemudian dibimbing seorang ibu
pendamping (peunganjo) untuk menyambut linto baro dan melakukan
sungkem kepada mempelai pria. Ini merupakan tanda hormat dan pengabdian. Linto
baro menerima sambutan dara baro dengan penuh kasih sayang, lalu
menggenggam tangan dara baro sambil menyelipkan amplop yang berisi uang
yang melambangkan tanggung jawab untuk menafkahi sang istri.
Setelah itu,
kedua mempelai disandingkan sebentar di pelaminan sebelum dibimbing menuju
suatu tempat khusus untuk bersujud kepada kedua orangtua mempelai. Prosesi
dimulai dari dara baro bersujud kepada orang tua kemudian
kepada kedua mertua. Linto baro mengikuti apa yang dilakukan mempelai
wanita. Lalu mereka dibimbing ke pelaminan untuk di-peusijuek oleh
keluarga. Mulai dari keluarga linto baro yang memberikan uang dan barang
berharga lainnya. Begitu juga sebaliknya. Jumlah anggota keluarga yang
melakukan peusijuek tidak boleh genap.
Setelah
pelaksanaan upacara selesai, linto baro langsung pulang ke rumahnya.
Setelah hari ke tiga atau ke tujuh barulah linto baro diantar kembali ke
rumah dara baro untuk melaksanakan upacara hari ketiga (peulhe)
atau ketujuh (peutujoh). Upacara ini diawali dengan penanaman bibit
kelapa yang dilakukan oleh woe linto bersama dara baro.
Selanjutnya, linto baro melakukan sujud kepada mertua dan diberi pakaian
ganti, cincin emas, dan lain-lain.
Pihak woe into juga membawa beberapa perangkat
untuk dara baro yang berupa makanan kaleng, kopi, teh, susu, dan
berbagai perlengkapan dapur yang lain. Selain itu, juga membawa beberapa bibit
tanaman seperti bibit kelapa, bibit tebu, dan sebagainya sesuai kemampuan
keluarga wo linto.
4. Upacara
Setelah Perkawinan
Setelah perkawinan masih ada serangkaian upacara,
yaitu Tueng Dara Baro. Upacara Tueng Dara Baro merupakan upacara
untuk mengundang dara baro beserta rombongannya ke rumah mertua. Upacara
ini dilaksanakan pada tujuh hari setelah upacara wo linto. Pada waktu
upacara ini, dara baro diarak menuju rumah pengantin laki-laki dengan
didampingi dua pengunganjo. Rombongan pengantin perempuan ini juga
membawa makanan dan kue-kue. Cara penyambutan upacara ini hampir sama dengan
upacara wo linto, tapi tanpa prosesi berbalas pantun dan cuci kaki.
Sampai di
pintu masuk, rombongan akan disambut keluarga laki-laki. Orang tua kedua
belah pihak kemudian melakukan tukar-menukar sirih. Di pintu masuk rumah,
rombongan ditaburi beras (breuh padi), bunga rampai, dan daun-daun sebagai
tepung tawar (on seunijuk). Setelah dara baro duduk di tempat
yang telah disediakan, ibu linto baro melakukan tepung tawar yang
dilanjutkan dara baro bersujud kepada orangtua linto baro. Orangtua
linto baro kemudian menyerahkan perhiasan yang ditaruh di dalam air
kembang dalam suatu wadah khusus.
Pada upacara ini, dara baro
menginap di rumah orang tua linto
baro selama tujuh hari dengan ditemani oleh satu atau dua peunganjo.
Tujuh hari kemudian, barulah dara baro diantar pulang. Dara baro juga
dibekali dengan beberapa perangkat pakaian, bahan makanan, dan uang. Di rumah
orangtua dara baro rombongan disambut dengan upacara jamuan makan
bersama yang menandai berakhirnya seluruh rangkaian upacara.
E. Nilai-nilai
Upacara perkawinan yang digelar oleh masyarakat Aceh
mengandung berbagai nilai yang baik untuk dilestarikan. Beberapa nilai yang
terkandung dalam upacara adat tersebut adalah:
1. Nilai
Tradisi
Upacara adat
yang dilaksanakan dalam perkawinan bagi masyarakat Aceh merupakan salah satu
bentuk pelestarian tradisi. Rangkaian upacara tersebut mengandung simbol dan
makna tertentu yang mewakili cara mereka memandang dunia dan kehidupan di
dalamnya. Sebagian orang, terutama yang bukan bagian dari budaya itu, mungkin
akan beranggapan bahwa rangkaian upacara adat di Aceh rumit dan panjang. Namun,
tentu saja, tidak begitu menurut masyarakat penganut kebudayaan itu.
2. Nilai Religi
Pengaruh Islam pada kebudayaan Aceh sangat kuat. Hal
ini tercermin dalam pandangan dan perilaku dalam kehidupan. Perkawinan merupakan
salah satu ajaran dalam Islam. Sehingga melaksanakannya adalah ibadah.
Implementasi nilai-nilai ajaran agama dalam membangun keluarga yang baik
(sakinah) dapat dilakukan melalui perkawinan. Selain itu, perkawinan juga
menjadi sarana untuk mengimplementasikan nilai Islam dalam membina hubungan
antarsanak kerabat.
3. Nilai Sosial
Perkawinan
mengandung fungsi sosial, yaitu sebagai suatu cara di mana ikatan antara
laki-laki dan perempuan diakui oleh masyarakat. Selain itu, salah satu tujuan
perkawinan bagi masyarakat Aceh adalah untuk memperluas kaum kerabat dan
mempererat hubungan yang sudah ada. Di beberapa daerah tujuan ini berbeda-beda.
Di Aceh Tamiang tujuan perkawinan adalah untuk memperluas sistem perkauman yang
disebut “suku sakat kaum biak”.
0 komentar:
Posting Komentar